Matahari sebagai Sumber Utama Energi Kehidupan
Matahari sumber bagi energi semesta.Ilustrasi: penulis. |
Oleh Masri Sareb Putra, M.A.
Matahari adalah api abadi yang menyala 150 juta kilometer dari bumi. Dari sanalah segala kehidupan mendapat pasokan energi.
Cahaya yang
sampai ke bumi hanya sebagian kecil dari ledakan besar yang terjadi di intinya,
namun cukup untuk menghangatkan planet ini, menggerakkan angin, memanaskan
lautan, bahkan menumbuhkan sehelai rumput di halaman rumah kita.
Sejak kecil kita diajari, matahari terbit di timur dan
tenggelam di barat. Terlihat sederhana, padahal gerak harian itu adalah
pengingat bahwa bumi terus berputar di bawah sinarnya. Tanpa cahaya itu, bumi
hanya akan jadi bola es yang gelap. Tidak ada sawah, tidak ada hutan, tidak ada
manusia.
Mesin Surya yang Hidup
Tumbuhan adalah penerjemah setia energi matahari. Daun-daun
hijau, seakan panel surya alami, menangkap sinar lalu mengubahnya menjadi
makanan. Fotosintesis adalah kata kuncinya. Dengan air, karbon dioksida, dan
cahaya, tumbuhan menghasilkan glukosa untuk dirinya dan oksigen untuk kita.
Saya sering memperhatikan padi di Sekadau yang berdiri tegak
di sawah. Daunnya tipis, menjulang, seperti antena yang sedang menangkap
gelombang dari langit. Dari situ tumbuh bulir-bulir yang nantinya jadi nasi di
meja makan. Jika direnungkan, setiap suapan nasi adalah cahaya matahari yang
sudah berubah bentuk. Kita makan sinar, meski tidak pernah menyadarinya.
Matahari yang Menyusup ke Kehidupan Sehari-hari
Energi matahari mengalir jauh lebih luas daripada sekadar
makanan. Ia memengaruhi irama hidup manusia. Pagi hari membuat orang
bersemangat bekerja, siang terik membuat kita mencari teduh, sore yang meredup
menghadirkan rasa tenang. Ritme itu sejatinya adalah musik matahari yang
mengatur langkah kita.
Lihatlah pohon rambutan di pekarangan. Ia menyerap cahaya,
menyimpannya dalam daging buah, lalu memberikannya pada kita dalam rasa manis
yang menyegarkan. Atau hutan tropis di Borneo, yang menyimpan energi matahari
dalam biomassa kayu, dalam tanah yang gembur, dalam udara yang sejuk. Bahkan
energi angin dan air, yang sering kita anggap terpisah, sesungguhnya digerakkan
oleh matahari. Angin muncul karena perbedaan panas, hujan turun karena air laut
diuapkan sinarnya.
Matahari juga meresap ke ruang batin kita. Banyak orang
merasa lebih bahagia saat langit cerah dibanding saat mendung. Psikolog
menyebutnya efek cahaya pada hormon tubuh. Saya menyebutnya berkah sederhana,
cahaya yang menyalakan semangat sekaligus meredakan gundah.
Menjaga Energi tidak Putus
Sayangnya, hubungan kita dengan matahari tidak selalu bijak.
Bayangkan! Energi yang begitu melimpah sering kita abaikan, lalu kita bergantung pada
sumber yang terbatas: batu bara, minyak bumi, gas. Padahal semua itu hanyalah
“matahari purba” yang disimpan dalam perut bumi. Kita membakarnya dengan rakus,
mengembalikan karbon ke udara, dan bumi pun panas.
Tumbuhan yang semestinya jadi jembatan energi pun sering
ditebangi. Setiap pohon yang hilang berarti berkurang pula kemampuan bumi
menerjemahkan cahaya matahari menjadi kehidupan. Panel surya, turbin angin,
atau baterai pintar memang membantu. Tetapi mari jujur, sehelai daun tetap
lebih ajaib daripada teknologi apa pun. Ia tidak hanya menghasilkan energi,
tetapi juga memberi oksigen, keteduhan, bahkan rasa damai.
Matahari adalah sumber utama energi. Ia memberi panas,
cahaya, dan kehidupan. Tumbuhan menjadi jembatan, hewan dan manusia adalah
penerima manfaat. Segala sesuatu yang kita makan, hirup, dan rasakan pada
akhirnya bersumber dari bintang raksasa di langit itu.
Menjaga tumbuhan berarti menjaga pintu masuk energi matahari
agar tetap mengalir. Sebab pada akhirnya, cahaya itu bukan hanya milik daun
atau hutan, tetapi juga milik kita semua. Tanpa matahari, tidak ada kehidupan.
Dan tanpa tumbuhan yang mengolahnya, matahari hanya akan jadi cahaya indah yang
sia-sia.