Energi Positif Bangsa Indonesia Harus Makin Dominan

Energi Positif Bangsa Indonesia Harus Makin Dominan
Energi Positif bangsa Indonesia harus makin dominan, jangan energi yang lainnya. Kolaborasi dan cooperative-learning macam ini membangun kerja sama, bukan kompetisi. Ist.

Oleh Agustina Yudith

Suatu sore di sebuah warung kopi di Yogyakarta, obrolan mahasiswa asal Papua, Jawa, dan Kalimantan terdengar renyah. 

Mereka berbeda suku, berbeda agama, bahkan logatnya pun berwarna-warni. Tetapi ketika berbicara tentang masa depan Indonesia, nada optimisme yang sama terasa. “Lima tahun lagi aku ingin punya usaha,” kata seorang. “Aku mau pulang kampung dan bangun sekolah,” tambah yang lain.

Optimisme semacam ini, yang muncul di ruang-ruang kecil, sebenarnya adalah wajah energi positif bangsa Indonesia. 

Data World Values Survey (2022) menguatkan cerita tadi: 73 persen orang Indonesia percaya hidup mereka akan lebih baik dalam lima tahun ke depan. Angka itu jauh di atas rata-rata dunia.

Energi positif bukan sekadar “rasa senang” atau “mood bagus.” Ia adalah sikap mental yang berakar dalam: ketangguhan, kepercayaan pada sesama, dan keyakinan bahwa badai pasti berlalu. Kita mengenalnya dalam istilah lama: gotong royong

Dalam tradisi ini, bangsa Indonesia sudah berulang kali menunjukkan daya tahan: dari krisis moneter 1998, tsunami Aceh 2004, hingga pandemi Covid-19.

Namun, energi positif hanya akan bermakna bila diolah. Tanpa manajemen, ia mudah menguap menjadi sekadar euforia. Yang kita butuhkan adalah mengubahnya menjadi strategi nasional: terintegrasi dalam pendidikan, kebijakan publik, bahkan diplomasi.

Bonus Demografi dan Kekayaan Budaya

Tahun 2030-an akan menjadi penentu. Saat itu, Indonesia berada di puncak bonus demografi: 70 persen penduduk kita berada pada usia produktif. Bila diarahkan dengan baik, ini bukan sekadar angka, tetapi tenaga raksasa yang mampu mengangkat ekonomi dan martabat bangsa.

Namun, tenaga saja tidak cukup. Ia harus ditopang oleh budaya. Di sinilah keunikan Indonesia: punya salah satu warisan budaya terkaya di dunia. Dari batik hingga angklung, dari tenun NTT hingga rendang yang dinobatkan CNN sebagai makanan terenak. UNESCO mencatat Indonesia termasuk negara dengan warisan budaya tak benda terbanyak.

Sayangnya, kita kerap minder. Kita masih merasa budaya asing lebih keren, padahal dunia justru sedang mencari keunikan. Korea Selatan dengan K-pop dan drama berhasil mendominasi pasar global. Jepang dengan anime dan kulinernya menancapkan pengaruh. Indonesia? Kita punya modal lebih kaya, hanya butuh percaya diri dan kemasan modern.

Generasi muda perlu diberi ruang untuk berkreasi. Bayangkan gamelan dipadukan dengan musik elektronik, wayang dikemas dalam animasi digital, atau sate Madura menjadi brand global. Energi positif budaya akan menjadikan kita bukan hanya dikenal, tetapi juga disegani.

Ekonomi Hijau, UMKM, dan Mental Inovasi

Ekonomi adalah kunci dominasi. Indonesia kini sudah masuk 20 besar ekonomi dunia, dengan PDB lebih dari 1,4 triliun dolar AS. Bank Dunia bahkan memprediksi kita bisa masuk lima besar pada 2045. Tetapi, target itu hanya tercapai bila mental bangsa selaras: berani berinovasi, sabar membangun, dan jujur mengelola.

Energi positif dalam ekonomi terlihat jelas pada UMKM. Saat pandemi, ribuan pelaku usaha kecil bangkit lewat platform digital. Dari penjual keripik di Garut hingga pengrajin rotan di Cirebon, mereka menemukan cara baru bertahan. Inilah bukti nyata bahwa optimisme bukan jargon, melainkan daya hidup.

Sektor ekonomi hijau juga membuka peluang. Indonesia memiliki cadangan nikel terbesar, hutan tropis luas, serta potensi energi terbarukan. Riset McKinsey (2023) memperkirakan transisi energi bisa menciptakan 3,2 juta lapangan kerja baru. Bila dikelola dengan visi jangka panjang, Indonesia bisa tampil sebagai pemain utama industri hijau dunia.

Namun, ancaman mental instan dan korupsi masih besar. Energi positif harus ditopang disiplin dan integritas. Negara-negara dominan tidak hanya kaya, mereka konsisten membangun tata kelola. Indonesia harus menempuh jalan yang sama.

Dari Diplomasi ke Narasi Global

Dominasi bukan semata soal ekonomi, tetapi juga soal narasi. Dunia kini digerakkan oleh cerita besar: demokrasi, kesetaraan, transisi energi, dan keberagaman. Indonesia punya modal kuat untuk menawarkan narasi khas: Bhinneka Tunggal Ika.

Diplomasi Indonesia sudah dikenal dengan prinsip bebas-aktif. Namun, di abad ini, kita perlu melangkah lebih jauh: menjadi inisiator solusi global. Contohnya, Indonesia bisa memimpin kerja sama negara-negara tropis, memperjuangkan harga komoditas adil, atau menawarkan model pembangunan yang harmonis dengan budaya lokal.

Budaya juga bisa menjadi instrumen diplomasi. Film, musik, olahraga, dan makanan punya daya pikat lebih kuat daripada pidato. Lihatlah bagaimana badminton mengangkat nama Indonesia di mata dunia. Bayangkan bila kuliner Nusantara atau musik tradisional modern kita bisa menembus pasar global.

Penelitian Pew Research Center (2023) menyebut, 82 persen orang di dunia menganggap toleransi dalam keberagaman sebagai nilai penting abad ini. Indonesia punya pengalaman panjang hidup dalam perbedaan. Bila energi positif itu dikemas sebagai narasi, dunia akan melihat Indonesia bukan hanya sebagai negara besar, tetapi juga sebagai teladan.

Energi positif adalah wajah asli bangsa Indonesia. Ia tampak dalam optimisme anak muda, dalam gotong royong warga desa, dalam kreativitas UMKM, hingga dalam diplomasi di panggung internasional. Yang kita butuhkan hanyalah mengelola dan menyalurkannya dengan konsisten.

Dominasi Indonesia di abad ke-21 bukanlah mimpi kosong. Dunia sedang mencari model baru yang lebih manusiawi. Indonesia punya modal: demografi, budaya, ekonomi hijau, dan pengalaman hidup dalam keberagaman. Kini saatnya energi positif itu dipoles menjadi strategi nasional.

Bangsa ini hanya perlu satu hal lagi: percaya pada diri sendiri. Bila itu terwujud, maka benar adanya: energi positif Indonesia bukan sekadar membuat kita bertahan, tetapi menjadikan kita makin dominan di dunia.

Penulis adalah seorang guru Sekolah Dasar di Pontianak, Kalimantan Barat.

Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url