Energi Bangsa: Menuju Indonesia Emas atau Indonesia Cemas?
Energi positif bangsa seharusnya menuju Indonesia emas seperti suara hati-nurani mahasiswa. Ist.
Oleh Rangkaya Bada
Seratus tahun Indonesia merdeka adalah momen besar. Tahun 2045, bangsa ini berusia seabad, dan sejak lama sudah dicanangkan visi Indonesia Emas.
Bayangan tentang negeri yang makmur, adil, modern, dan disegani
dunia menjadi harapan bersama. Rasanya semua orang ingin tiba pada hari itu
dengan kepala tegak.
Optimisme lahir dari modal besar yang kita punya. Bonus demografi yang masih berjalan, lahan yang luas, kekayaan alam yang melimpah, dan kreativitas anak muda yang tak ada habisnya. Energi bangsa sesungguhnya sangat kuat, ada di setiap sudut kehidupan.
Seorang mahasiswa yang tekun riset
di laboratorium kecilnya, petani yang tetap menanam meski harga gabah anjlok,
pengusaha muda yang jatuh bangun merintis usaha digital, semua itu potongan
energi yang menyusun harapan besar.
Tetapi, persoalannya bukan sekadar energi ada atau tidak.
Pertanyaan yang lebih penting: apakah energi itu diarahkan untuk memperkuat
bangsa, atau justru hilang tercecer di jalan?
Dari Indonesia Emas ke Indonesia Cemas
Beberapa pekan lalu, jalan-jalan di sejumlah kota dipenuhi
suara mahasiswa. Mereka mengangkat satu istilah yang terdengar pedih: Indonesia
Cemas. Kata ini menggelitik hati, tetapi juga terasa tepat.
Cemas, karena biaya hidup kian mahal. Cemas, karena utang
negara terus menumpuk. Cemas, karena hukum seolah bisa dinegosiasikan, tajam ke
bawah, tumpul ke atas. Mahasiswa hanya menyuarakan apa yang banyak orang
rasakan. Suara mereka keras, tetapi isi hatinya sederhana: jangan gadaikan masa
depan bangsa.
Realitas memang kadang berbeda jauh dari retorika.
Pemerintah berbicara tentang pertumbuhan ekonomi, tapi rakyat di kampung masih
berjuang membeli beras. Elite politik berjanji menjaga demokrasi, tetapi di
lapangan praktiknya penuh kompromi. Maka tidak heran kalau istilah Indonesia
Emas perlahan digeser mahasiswa menjadi Indonesia Cemas.
Di titik ini, mahasiswa sesungguhnya sedang mengingatkan
kita semua. Bukan sekadar protes, tetapi panggilan moral agar bangsa ini tidak
salah arah.
Energi yang Terkuras oleh Oligarki
Energi bangsa bisa habis bukan karena tidak ada potensi,
melainkan karena bocor. Bocor oleh kepentingan yang tidak pernah kenyang. Bocor
oleh kesepakatan-kesepakatan yang hanya menguntungkan segelintir orang. Inilah
yang sering disebut: oligarki.
Oligarki tidak hadir di awang-awang. Ia nyata dalam
perizinan tambang yang merusak lingkungan, dalam proyek infrastruktur yang
tidak berpihak pada warga kecil, dalam kebijakan yang lebih ramah pada
konglomerat ketimbang pada rakyat biasa.
Yang lebih menyakitkan, sejumlah pemimpin justru ikut
terjebak dalam lingkaran ini. Ucapan mereka penuh janji, tetapi tindakannya
memihak pada pemodal. Energi bangsa yang seharusnya untuk pendidikan,
kesehatan, dan pemerataan pembangunan, akhirnya terhisap ke kantong segelintir
elite.
Di sini ironi terasa. Mahasiswa bersuara lantang agar bangsa
bergerak maju, namun sebagian penguasa sibuk memainkan sandiwara politik.
Padahal, kepemimpinan bukan soal kepiawaian beretorika, melainkan soal
kemampuan memancarkan energi positif yang menular pada rakyat.
Saatnya Memancarkan Energi Positif
Indonesia butuh pemimpin yang amanah. Pemimpin yang
kata-katanya sederhana tetapi dapat dipercaya. Pemimpin yang tidak hanya
mendengar suara mahasiswa, tetapi juga suara petani, nelayan, dan pekerja
kecil. Energi positif pemimpin bukan jargon, melainkan sikap yang bisa
dirasakan dalam tindakan sehari-hari.
Kita punya teladan. Bung Karno dengan pidato-pidatonya
membakar semangat kebangsaan. Gus Dur dengan ketulusannya membuat orang merasa
dihargai, meski berbeda keyakinan atau latar belakang. Dari mereka kita belajar
bahwa energi positif bukanlah hiasan, melainkan fondasi kepemimpinan.
Kini, bangsa ini berdiri di persimpangan jalan. Apakah
energi kolektif rakyat akan diarahkan menuju cita-cita Indonesia Emas, atau
terus tergerus hingga berubah menjadi Indonesia Cemas, tergantung pada pilihan
kita hari ini.
Pemimpin sejati sadar, energi bangsa adalah aset paling
berharga. Ia harus dijaga, dikumpulkan, dan diarahkan agar menyuburkan
kehidupan. Bila energi itu terus positif, pancarannya akan terasa, tidak hanya
di ruang rapat elite, tetapi juga di sawah, di pasar, di ruang kelas, dan di
jalan-jalan kota.
Indonesia Emas 2045 bukan mimpi kosong. Ia bisa jadi
kenyataan. Asalkan energi bangsa tidak terbuang sia-sia.