Menyalurkan Energi Positif Bangsa dari The Founding Fathers
Energi positif dari para founding fathers wajib tersalurkan ke kita, seluruh warga bangsa Indonesia. |
Oleh Rangkaya Bada
Indonesia saat ini tidak sedang baik-baik saja. Asumsi peyebabnya adalah karena nilai-nilai kebangsaan yang dicontohkan para pendiri republik ini, telah luntur. Para penyenggara negara, banyak tidak amanah. Mereka mengemukakan kepentingan ego dan kelompok, ketimbang kepentingan bangsa dan negara.
Saatnya belajar dan menyalurkan energi positif bangsa dari para Founding Fathers.
Energi Positif Bangsa dari The Founding Fathers
Sejarah bangsa tidak lahir dari ruang kosong. Ia tumbuh dari
tempaan zaman, dari percikan ide, dari adu pikiran yang sering kali keras namun
bertujuan sama: menegakkan sebuah republik bernama Indonesia. Jika kita membaca
ulang detik-detik perdebatan di BPUPKI hingga PPKI, yang muncul bukan sekadar
dokumen kaku, melainkan denyut nadi bangsa yang baru hendak dilahirkan.
Para pendiri bangsa – Bung Karno, Mohammad Hatta, Mohammad
Natsir, Soepomo, Agus Salim, Anak Agung Gde Agung, hingga Mohammad Yamin –
berbeda latar belakang, berbeda pendidikan, bahkan sering kali berbeda
pandangan ideologis. Namun mereka dipersatukan oleh satu energi yang sama:
keinginan untuk menjadikan tanah air ini berdiri di atas kaki sendiri, merdeka
dari belenggu kolonialisme.
Yang patut dicatat, mereka rela menafikan ego masing-masing.
Tidak ada yang ingin menang sendiri. Dalam perdebatan sengit tentang dasar
negara, misalnya, kita menyaksikan sikap besar hati: kompromi, dialog, hingga
pengorbanan. Itulah energi positif yang diwariskan, yang seharusnya kita
salurkan ulang ke zaman sekarang.
Bung Karno dengan api orasi dan visi kebangsaannya
mengajukan Pancasila. Hatta yang jernih dengan pemikiran demokrasi parlementer
meneguhkan garis kebijakan ekonomi kerakyatan. Natsir yang dikenal teguh dalam
prinsip Islam menawarkan jalan persatuan dalam bingkai NKRI. Soepomo
menghadirkan teori integralistik: negara bukan sekadar mesin kekuasaan, tetapi
tubuh hidup yang memayungi semua. Yamin datang dengan imajinasi sejarah
Nusantara yang luas, dari Sabang sampai Merauke. Sementara Agus Salim, dengan kejernihan
bahasa dan humor cerdas, menekankan pentingnya diplomasi dan toleransi. Anak
Agung menekankan kebijakan luar negeri bebas-aktif yang menjaga martabat bangsa
di forum internasional.
Mereka semua punya perbedaan yang tajam, tetapi energi yang
sama: menyalurkan semangat untuk Indonesia Raya.
Menafikan Ego, Mencari Jalan Tengah
Salah satu pelajaran paling berharga dari para pendiri
bangsa ialah keberanian untuk menanggalkan ego. Padahal, mereka adalah
intelektual besar, cendekiawan dengan reputasi pribadi, dan pemimpin dengan
pengaruh luas. Namun, demi republik yang baru lahir, mereka rela mundur
selangkah, demi melangkah bersama ke depan.
Contoh paling jelas ialah perdebatan Piagam Jakarta. Di
dalamnya termaktub sila pertama dengan tujuh kata: “...dengan kewajiban
menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.” Bagi sebagian tokoh,
terutama dari kalangan Islam, itu harga mati. Tetapi pada 18 Agustus 1945, demi
menjaga keutuhan bangsa, tujuh kata itu dicoret. Keputusan itu tentu tidak
mudah. Namun Mohammad Natsir dan tokoh Islam lainnya menunjukkan jiwa besar:
kepentingan persatuan bangsa di atas kepentingan golongan.
Bung Karno pun sering kali menunjukkan sikap serupa. Meski
dalam dirinya menggelegak api revolusi, ia bersedia duduk bersama, mendengar,
dan menyesuaikan ide agar bisa diterima semua pihak. Ia mengajukan Pancasila
bukan sebagai milik pribadi, melainkan sebagai kompromi luhur: ideologi bersama
yang bisa menaungi pluralitas Indonesia.
Hatta dikenal sebagai “Mr. Cool.” Dengan pikiran jernih, ia
menengahi banyak perdebatan yang berpotensi buntu. Pandangan ekonominya menolak
dominasi kapitalisme asing, tetapi juga tidak menutup diri terhadap modernitas.
Ia mencari jalan tengah: koperasi sebagai sokoguru ekonomi bangsa. Inilah wujud
energi positif yang mengalir dari kejernihan hati.
Agus Salim lain lagi. Dengan seloroh yang kadang menusuk, ia
menurunkan ketegangan perdebatan. Diplomasi luar negerinya pun piawai: membuat
bangsa yang baru lahir ini langsung dikenal di dunia internasional. Ia tahu,
ego pribadi tak ada artinya dibanding pengakuan dunia bagi Republik Indonesia.
Soepomo, meskipun dengan teori integralistik yang kemudian
banyak diperdebatkan, tetap menempatkan gagasan itu dalam kerangka keutuhan. Ia
ingin negara berdiri di atas segala golongan, bukan alat satu kelompok semata.
Di situ terlihat sikap menafikan ego demi kebersamaan.
Yamin, yang kadang dipandang ambisius, punya jasa besar
dalam membangun imajinasi bangsa: menghubungkan sejarah masa lalu dengan
cita-cita masa depan. Ia tahu, bangsa tanpa mitos dan narasi besar akan mudah
rapuh. Maka ia menekan egonya, mempersembahkan imajinasi itu sebagai milik
bersama.
Anak Agung mengajarkan bahwa Indonesia bukan hanya bangsa
yang sibuk dengan dirinya sendiri, melainkan bagian dari pergaulan
internasional. Politik luar negeri bebas-aktif yang dirintisnya adalah contoh
konkret: menafikan kepentingan pribadi, mengedepankan kepentingan bangsa.
Semua ini memperlihatkan bahwa ego mereka, meski besar, bisa
ditundukkan oleh cita-cita yang lebih agung: Indonesia Raya.
Energi Positif sebagai Warisan
Jika kita tarik ke masa kini, energi positif yang diwariskan
para founding fathers itu seharusnya menjadi teladan. Bayangkan, betapa
sulitnya mereka memadukan perbedaan tajam: antara nasionalis dan Islamis,
antara Jawa dan luar Jawa, antara sipil dan militer, antara orientasi ke Barat
atau Timur. Namun semua bisa duduk satu meja, mencari titik temu.
Energi itu bukan sekadar kompromi politik. Ia adalah sikap
batin: kerelaan mengutamakan bangsa di atas kepentingan pribadi. Bung Karno
pernah berkata, “Perjuanganku lebih mudah karena melawan penjajah. Perjuanganmu
lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri.” Kalimat itu seakan mengingatkan
generasi berikutnya bahwa musuh terbesar sering kali bukan di luar, melainkan
di dalam: egoisme, kepentingan sempit, haus kuasa.
Energi positif para perintis bangsa lahir dari tiga hal.
Pertama, kesadaran sejarah. Mereka membaca panjangnya penderitaan bangsa di
bawah penjajahan, sehingga merasa tak pantas mengulang kesalahan. Kedua,
keluasan pandangan. Hampir semua dari mereka adalah pembaca yang rakus,
pengelana gagasan yang tak mengenal sekat. Mereka menimba ilmu dari Timur
maupun Barat, lalu memadukannya dengan kearifan lokal. Ketiga, spiritualitas.
Ada yang datang dari iman Islam, ada pula dari falsafah Jawa-Bali, ada dari nilai-nilai
kebangsaan universal. Namun semuanya bertemu dalam satu titik: kemanusiaan yang
adil dan beradab.
Warisan itu, jika diibaratkan, adalah energi yang tak pernah
habis. Ia menunggu untuk disalurkan kembali. Sayangnya, di era sekarang, energi
itu sering tersumbat oleh kepentingan politik praktis, oleh fragmentasi sosial,
oleh perdebatan kusir yang jauh dari semangat kompromi. Kita lupa, bahwa bangsa
ini lahir dari semangat menafikan ego.
Maka, menyalurkan ulang energi positif itu berarti
menghadirkan kembali jiwa besar, kebesaran hati, serta keberanian untuk mencari
titik temu. Tanpa itu, bangsa ini mudah terpecah.
Menghidupkan Kembali Semangat Indonesia Raya
Tugas kita hari ini bukan sekadar mengenang, tetapi
menghidupkan kembali. Energi positif yang pernah membuat bangsa ini berdiri
harus diterjemahkan dalam konteks kekinian. Bagaimana caranya?
Pertama, melalui kepemimpinan yang berjiwa besar. Para
pemimpin masa kini perlu belajar dari founding fathers: menahan diri, mendengar
lawan, berani berkompromi. Politik bukan soal siapa menang, siapa kalah,
melainkan bagaimana bangsa menang bersama.
Kedua, melalui budaya dialog. Di zaman Soepomo, Natsir, dan
Yamin, perdebatan memang keras, tetapi mereka tak segan bertemu muka, beradu
gagasan dengan argumen, bukan dengan hoaks atau ujaran kebencian. Di era
digital, dialog sering digantikan saling serang di media sosial. Energi positif
hanya bisa lahir bila kita kembali pada tradisi diskusi sehat.
Ketiga, melalui orientasi kebangsaan. Agus Salim mengajarkan
diplomasi yang menjunjung martabat bangsa. Hatta menekankan ekonomi kerakyatan.
Bung Karno berulang kali berkata, bangsa ini besar bukan karena kekayaan
alamnya, melainkan karena persatuan. Orientasi itu harus dihidupkan kembali, di
tengah arus globalisasi yang kerap menarik bangsa ke pusaran kepentingan asing.
Keempat, melalui pendidikan karakter. Anak-anak muda harus
dikenalkan bahwa Indonesia lahir dari kompromi luhur, dari sikap menafikan ego,
bukan dari kemenangan sepihak. Jika generasi baru memahami ini, energi positif
para founding fathers akan mengalir lagi, menjadikan bangsa ini lebih kokoh.
Di ujungnya, semua kembali pada satu cita-cita: Indonesia
Raya. Bukan Indonesia untuk satu kelompok, bukan untuk satu pulau, bukan untuk
satu agama atau etnis. Melainkan rumah besar bagi semua. Itulah yang
diperjuangkan oleh Bung Karno, Hatta, Natsir, Soepomo, Agus Salim, Anak Agung,
dan Yamin. Mereka telah menyalurkan energi positif, kini tugas kita
meneruskannya.
Bangsa ini lahir dari semangat menafikan ego demi cita-cita
bersama. Dari orasi Bung Karno hingga diplomasi Agus Salim, dari kejernihan
Hatta hingga keluwesan Natsir, dari teori Soepomo hingga imajinasi Yamin, dari
pandangan Anak Agung hingga pengorbanan banyak tokoh lain, semua berpadu dalam
satu energi: energi positif untuk Indonesia.
Kini, energi itu menunggu disalurkan kembali. Pertanyaannya:
apakah kita, generasi pewaris, siap menundukkan ego demi Indonesia Raya?