Energi Terbarukan untuk Masa Depan Bangsa

 

Energi terbarukan dari alam Indonesia wajib tersalurkan ke kita
Indonesia perlu energi terbarukan untuk meraih Indonesia Emas tahun 2045.

Oleh Masri Sareb Putra

Energi terbarukan dari alam Indonesia wajib tersalurkan ke kita, seluruh warga bangsa, demi keberlanjutan dan kemandirian.

Sejarah energi bangsa tidak lahir dari ruang kosong. Ia tumbuh dari kekayaan alam yang luar biasa, dari sinar matahari yang tak pernah redup, angin yang berhembus kencang di pesisir, hingga panas bumi yang mendidih di bawah kaki kita. Jika kita membaca ulang potensi sumber daya alam Indonesia, yang muncul bukan sekadar angka-angka kaku, melainkan peluang besar untuk sebuah republik yang mandiri secara energi.

Indonesia diberkahi dengan potensi energi terbarukan yang luar biasa. Menurut data dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), potensi energi surya saja mencapai 3.294 GW, cukup untuk menerangi seluruh negeri berkali-kali lipat. Bayangkan, di pulau-pulau seperti Sumatera dan Jawa, panel surya bisa menjadi solusi untuk daerah pedesaan yang masih gelap gulita. 

Di sisi lain, angin di wilayah timur seperti Nusa Tenggara Timur dan Sulawesi memiliki kecepatan rata-rata 4-7 m/s, ideal untuk turbin angin yang bisa menghasilkan hingga 60 GW. Belum lagi energi hidro, dengan potensi 94 GW dari sungai-sungai yang mengalir deras, dan geotermal yang mencapai 23 GW, menjadikan Indonesia sebagai negara dengan cadangan panas bumi terbesar kedua di dunia setelah Amerika Serikat.

Para ahli seperti yang dikutip dari Institut untuk Energi Ekonomi dan Analisis Keuangan (IEEFA), menyebut bahwa potensi ini bukan mimpi kosong. Di Cirata, Jawa Barat, misalnya, Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Terapung pertama di Asia Tenggara telah beroperasi sejak 2023, dengan kapasitas 192 MWp. Proyek ini, kolaborasi antara PLN dan Masdar dari Uni Emirat Arab, menunjukkan bagaimana air dan sinar matahari bisa bersinergi. Di Sidrap, Sulawesi Selatan, Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB) pertama di Indonesia dengan 30 turbin angin menghasilkan 75 MW, cukup untuk 70 ribu rumah tangga. Ini adalah contoh nyata bagaimana alam kita bisa menjadi sumber kehidupan, bukan hanya komoditas yang dieksploitasi.

Yang patut dicatat, potensi ini melintasi perbedaan wilayah. Dari Sabang dengan ombaknya yang potensial untuk energi laut, hingga Merauke dengan hutan biomassa yang bisa diolah menjadi bioenergi. Berbeda latar geografis, berbeda tantangan iklim, tapi dipersatukan oleh satu energi yang sama: keinginan untuk mandiri dari impor minyak dan batu bara. Para pionir seperti para insinyur di PLN dan peneliti di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) telah menunjukkan sikap besar hati: kompromi antara teknologi impor dan kearifan lokal, dialog dengan masyarakat adat, hingga pengorbanan waktu untuk riset. Itulah energi terbarukan yang diwariskan alam, yang seharusnya kita salurkan ulang ke zaman sekarang.

Saya ingat kutipan dari seorang pakar energi, "Energi terbarukan bukanlah pilihan, melainkan kewajiban bagi bangsa yang ingin bertahan." Di tengah krisis global, di mana harga minyak fluktuatif akibat konflik geopolitik, potensi ini adalah api orasi bagi kemandirian kita. Ia mengajukan visi transisi energi yang inklusif, bukan monopoli segelintir perusahaan besar. Semua punya perbedaan tajam dalam pendekatan—ada yang pro-surya, ada yang lebih suka geotermal—tapi energi yang sama: menyalurkan semangat untuk Indonesia yang hijau.

Tantangan dan Hambatan dalam Pengembangan

Salah satu pelajaran paling berharga dari perjalanan energi terbarukan ialah keberanian untuk menghadapi hambatan. Padahal, Indonesia punya segalanya: alam yang murah hati, tenaga kerja yang melimpah, dan pasar domestik yang besar. Namun, demi masa depan yang berkelanjutan, kita harus rela mundur selangkah untuk melangkah bersama ke depan.

Contoh paling jelas ialah isu infrastruktur. Jaringan listrik kita masih terfragmentasi, dengan interkoneksi antar pulau yang lemah. Di Papua, misalnya, potensi hidro besar, tapi transmisi ke Jawa sulit. Menurut laporan Bank Dunia, tantangan ini membuat hanya 13% bauran energi kita dari terbarukan pada 2023, jauh dari target 23% di 2025. Bagi sebagian pihak, terutama investor, ini harga mati. Tetapi demi menjaga keutuhan sistem energi nasional, kita perlu kompromi: membangun smart grid dan storage baterai. Keputusan itu tentu tidak mudah. Namun, seperti dalam proyek JETP (Just Energy Transition Partnership) dengan dana US$20 miliar dari negara maju, kita menunjukkan jiwa besar: kepentingan lingkungan di atas kepentingan fosil.

Pendanaan menjadi hambatan lain. Investasi untuk PLTS atau PLTB memerlukan modal awal besar, sementara pengembaliannya jangka panjang. Di era di mana subsidi batu bara masih dominan, energi terbarukan sering kalah kompetitif. Pikiran jernih diperlukan untuk menengahi ini. Pandangan ekonominya menolak dominasi impor fosil, tapi tidak menutup diri terhadap investasi asing. Mencari jalan tengah: green bond dan public-private partnership (PPP). Inilah wujud tantangan yang mengalir dari kejernihan hati.

Teknologi dan SDM juga tak kalah pelik. Banyak daerah kekurangan tenaga ahli, sementara teknologi seperti turbin angin masih bergantung impor. Dengan seloroh yang kadang menusuk, para aktivis lingkungan mengatakan, "Kita punya matahari, tapi tak punya panel surya buatan sendiri." Diplomasi luar negeri pun piawai: kolaborasi dengan Cina untuk baterai litium atau Jepang untuk geotermal. Ego pribadi tak ada artinya dibanding kemandirian energi nasional.

Meskipun dengan teori transisi yang banyak diperdebatkan, tetap menempatkan gagasan itu dalam kerangka keutuhan. Negara bukan sekadar mesin fosil, tapi tubuh hidup yang memayungi semua. Di situ terlihat sikap menghadapi hambatan demi kebersamaan.

Yang kadang dipandang ambisius, punya jasa besar dalam membangun imajinasi energi: menghubungkan potensi masa lalu dengan cita-cita masa depan. Bangsa tanpa visi transisi akan mudah rapuh. Maka, menekan egonya, mempersembahkan solusi itu sebagai milik bersama.

Semua ini memperlihatkan bahwa hambatan kita, meski besar, bisa ditundukkan oleh cita-cita yang lebih agung: energi berkelanjutan.

Energi Terbarukan sebagai Warisan

Jika kita tarik ke masa kini, energi terbarukan yang diwariskan alam itu seharusnya menjadi teladan. Bayangkan, betapa sulitnya memadukan perbedaan tajam: antara kepentingan bisnis fosil dan aktivis hijau, antara pusat dan daerah, antara teknologi lama dan baru, antara orientasi ekonomi atau lingkungan. Namun semua bisa duduk satu meja, mencari titik temu.

Energi itu bukan sekadar kilowatt-hour. Ia adalah sikap batin: kerelaan mengutamakan planet di atas kepentingan pribadi. Seorang tokoh lingkungan pernah berkata, "Transisi energi lebih mudah karena melawan polusi. Tantanganmu lebih sulit karena melawan ketergantungan sendiri."

Kalimat itu seakan mengingatkan generasi berikutnya bahwa musuh terbesar sering kali bukan di luar, melainkan di dalam: ketamakan, keengganan berubah, haus subsidi fosil.

Energi terbarukan lahir dari tiga hal. Pertama, kesadaran iklim. Kita membaca panjangnya penderitaan bangsa dari banjir dan kekeringan akibat pemanasan global, sehingga merasa tak pantas mengulang kesalahan. Kedua, keluasan pandangan. Hampir semua negara maju adalah pembaca rakus data energi, pengelana gagasan yang tak mengenal sekat. Mereka menimba ilmu dari Eropa maupun Asia, lalu memadukannya dengan potensi lokal. Ketiga, spiritualitas. Ada yang datang dari nilai keberlanjutan Islam, ada pula dari falsafah Nusantara, ada dari prinsip universal. Namun semuanya bertemu dalam satu titik: kemanusiaan yang adil dan hijau.

Warisan itu, jika diibaratkan, adalah energi yang tak pernah habis. Ia menunggu untuk disalurkan kembali. Sayangnya, di era sekarang, energi itu sering tersumbat oleh kepentingan politik praktis, oleh fragmentasi regulasi, oleh perdebatan kusir yang jauh dari semangat inovasi. Kita lupa, bahwa bangsa ini bisa lahir dari semangat mandiri energi.

Maka, menyalurkan ulang energi terbarukan itu berarti menghadirkan kembali jiwa besar, kebesaran hati, serta keberanian untuk mencari solusi bersama. Tanpa itu, bangsa ini mudah terjebak dalam krisis energi.

Menghidupkan Kembali Semangat Transisi Energi

Tugas kita hari ini bukan sekadar mengenang potensi, tetapi menghidupkan kembali. Energi terbarukan yang pernah membuat negara maju berdiri harus diterjemahkan dalam konteks kekinian. Bagaimana caranya?

Pertama, melalui kepemimpinan yang berjiwa besar. Para pemimpin masa kini perlu belajar dari pionir global: menahan diri dari subsidi fosil, mendengar suara masyarakat, berani berkompromi dengan investor. Energi bukan soal siapa untung, siapa rugi, melainkan bagaimana bangsa menang bersama.

Kedua, melalui budaya inovasi. Di zaman dulu, perdebatan memang keras, tapi mereka tak segan bertemu muka, beradu gagasan dengan data, bukan dengan hoaks atau resistensi. Di era digital, inovasi sering digantikan saling serang di media sosial. Energi terbarukan hanya bisa lahir bila kita kembali pada tradisi riset sehat.

Ketiga, melalui orientasi nasional. Diplomasi luar negeri menjunjung martabat bangsa dalam forum COP. Ekonomi kerakyatan menekankan akses energi murah untuk rakyat kecil. Bangsa ini besar bukan karena cadangan fosilnya, melainkan karena transisi yang adil. Orientasi itu harus dihidupkan kembali, di tengah arus globalisasi yang kerap menarik bangsa ke pusaran ketergantungan.

Keempat, melalui pendidikan energi. Anak-anak muda harus dikenalkan bahwa Indonesia punya potensi untuk menjadi pemimpin hijau, dari kompromi antara teknologi dan alam, bukan dari kemenangan sepihak. Jika generasi baru memahami ini, energi terbarukan akan mengalir lagi, menjadikan bangsa ini lebih kokoh.

Di ujungnya, semua kembali pada satu cita-cita: Indonesia Hijau. Bukan Indonesia untuk satu perusahaan, bukan untuk satu pulau, bukan untuk satu sumber energi saja. Melainkan rumah besar bagi semua. Itulah yang diperjuangkan oleh para pionir energi dunia. Mereka telah menyalurkan energi terbarukan, kini tugas kita meneruskannya.

Bangsa ini lahir dari semangat mandiri. Dari visi surya hingga diplomasi hijau, dari kejernihan kebijakan hingga keluwesan inovasi, dari teori transisi hingga imajinasi masa depan, semua berpadu dalam satu energi: energi terbarukan untuk Indonesia.

Kini, energi itu menunggu disalurkan kembali. Pertanyaannya: apakah kita, generasi pewaris, siap menundukkan ketergantungan demi Indonesia Hijau?

Jakarta, 11 September 2025

Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url