Batubara Indonesia sebagai Energi yang Terbatas
Batubara sebagai salah satu sumber energi utama kita, lama-lama bisa terkuras habis. Dokpri. |
Oleh Masri Sareb Putra, M.A.
Di atas kertas, batubara tampak seperti anugerah. Angka-angka ekspor menggiurkan. Listrik murah terjamin. Industri tak perlu khawatir pasokan. Namun, siapa pun yang pernah singgah ke daerah tambang akan sadar: di balik gemerlap hitam, ada wajah lain yang muram.
Saya masih ingat perjalanan ke Sangatta, Kalimantan Timur.
Dari jendela mobil, yang terlihat bukan lagi deretan pohon, melainkan bukit
terbelah, tanah merah, dan debu yang menempel di kaca. Sungai kecil yang
mestinya bening berubah keruh kecokelatan. Sopir yang mengantar saya bergumam,
“Dulu bisa mancing di sana. Sekarang, jangankan ikan, rumput air pun mati.”
Indonesia memang tercatat sebagai salah satu eksportir
batubara terbesar dunia. Truk-truk penuh muatan tak pernah berhenti menuju
pelabuhan. Dari luar, semua ini tampak seperti mesin raksasa yang bekerja
mulus. Tapi mesin itu menelan banyak hal: hutan, tanah, air, bahkan ruang hidup
manusia.
Di titik ini saya kerap bertanya, bukankah energi mestinya
memberi kehidupan, bukan justru merampasnya?
Luka di Tanah dan Air
Kerusakan sumber daya alam akibat penambangan sulit
ditutup-tutupi. Lubang bekas tambang, yang mestinya direklamasi, dibiarkan
menganga. Ada yang berubah menjadi danau berair hijau pekat, menyimpan limbah
beracun. Anak-anak pernah menjadi korban, tenggelam di sana.
Di Muara Enim, Sumatra Selatan, seorang petani tua
mengeluhkan sawahnya tak lagi menghasilkan padi seperti dulu. Tanah jadi keras,
air irigasi penuh lumpur. “Dulu panen dua kali setahun, sekarang sekali pun
belum tentu,” ujarnya dengan nada pasrah.
Kerusakan ini tak berhenti pada tanah. Sungai tercemar logam
berat, sumur warga tak layak minum. Ironi besar: wilayah kaya energi justru
kekurangan air bersih.
Bencana pun kerap datang. Banjir yang dulunya musiman kini
jadi langganan tahunan. Longsor tiba-tiba menghantam perkampungan. Alam seolah
menagih kembali apa yang telah diambil secara serampangan.
Saya selalu gelisah ketika melihat kontras ini. Di televisi,
berita tentang lonjakan ekspor batubara terdengar heroik. Tapi di lapangan,
warga menatap air keruh di ember mereka.
Masyarakat Lokal yang Termarjinalkan
Pertanyaan sederhana sering muncul: kalau batubara begitu
menguntungkan, mengapa masyarakat sekitar tambang masih hidup susah? Jawabannya
ada pada distribusi keuntungan yang timpang.
Di banyak tempat, penduduk lokal kehilangan tanah. Kebun
karet atau ladang padi yang diwariskan turun-temurun berubah jadi konsesi
tambang. Kompensasi memang ada, tapi sering tak sebanding. “Kami dapat uang
sekali, habis dalam setahun. Sementara tanah hilang untuk selamanya,” kata
seorang warga di Kutai Kartanegara.
Pekerjaan yang terbuka umumnya hanya buruh kasar, dengan
gaji pas-pasan. Posisi manajerial diisi pekerja dari luar daerah. Ketika jalan
desa rusak oleh truk batubara, warga yang harus memperbaikinya sendiri. Debu
beterbangan, paru-paru anak-anak terganggu. Tetapi siapa yang peduli?
Yang lebih menyakitkan, uang hasil tambang justru lari
keluar. Masuk ke kota besar, ke rekening perusahaan, bahkan ke luar negeri. Di
desa, yang tersisa hanyalah jalan bolong, air kotor, dan lubang tambang. Tidak
berlebihan jika banyak orang berkata: “Batubara membuat kami jadi penonton di
tanah sendiri.”
Saya merasa, di sinilah letak ketidakadilan paling nyata.
Energi yang katanya milik bangsa, ternyata hanya segelintir yang menikmatinya.
Cadangan yang tak Lagi Abadi
Ada satu lagi peringatan yang jarang dibicarakan: cadangan
batubara kita makin menipis. Sering terdengar klaim bahwa Indonesia punya stok
untuk seratus tahun ke depan. Tapi itu asumsi dengan catatan: produksi tidak
naik. Faktanya, produksi justru terus melonjak, didorong permintaan global dan
kebutuhan listrik dalam negeri.
Kementerian ESDM pernah merilis data: dengan laju sekarang,
umur cadangan bisa menyusut drastis, bahkan mungkin tinggal beberapa dekade.
Artinya, anak cucu kita bisa jadi tidak lagi melihat batubara sebagai penopang
energi.
Bayangkan, suatu saat Indonesia yang kini eksportir justru
harus mengimpor. Sebuah ironi yang nyata bisa terjadi bila kita abai.
Pertanyaannya, apa strategi kita? Apakah menambang
sebanyak-banyaknya selagi masih ada? Atau mulai menyiapkan transisi ke energi
lain yang lebih bersih? Dunia sedang bergerak ke arah energi terbarukan. Eropa,
Amerika, bahkan Tiongkok perlahan mengurangi ketergantungan pada batubara.
Kalau kita terus bertahan dengan pola lama, kita bisa tertinggal.
Padahal, potensi energi alternatif di negeri ini luar biasa.
Matahari bersinar sepanjang tahun. Angin kencang di pesisir selatan Jawa dan
Nusa Tenggara. Sungai besar mengalir dari pegunungan. Semua bisa jadi penopang
baru, asal ada keberanian politik dan investasi serius.
Menimbang Ulang Jalan Energi
Kita tidak bisa menutup mata: batubara memberi banyak
manfaat jangka pendek. Tetapi biaya ekologis, sosial, dan ekonomi jangka
panjang jauh lebih besar.
Kini saatnya menimbang ulang jalan energi. Bukan berarti
kita harus menutup tambang besok pagi. Namun pengelolaan harus lebih ketat,
reklamasi harus benar-benar dijalankan, dan kompensasi bagi warga mesti adil.
Yang lebih penting, keberanian beralih ke energi bersih
harus muncul. Tidak ada waktu lagi untuk menunggu cadangan habis. Perubahan
harus dimulai sekarang, ketika masih ada ruang bergerak.
Saya percaya, energi bukan sekadar angka produksi atau
devisa.Energi menyangkut martabat dan masa depan bangsa. Batubara adalah bab
sementara dalam sejarah energi Indonesia. Cepat atau lambat, bab itu akan
berakhir.
Pertanyaannya: Apakah kita menutup bab batubara dengan bijak?
Atau membiarkan batubara berakhir dengan kerusakan yang diwariskan pada generasi berikutnya?